BENARKAH SEPAKBOLA INDONESIA SUDAH PROFESIONAL?
Oleh : M. Achwani
Kalangan
sepakbola di Indonesia sering menyebut-nyebut bahwa kita sedang menuju
sepakbola profesional seperti di Eropa, padahal kita sebenarnya belum menuju
arah itu tapi baru sebatas angan-angan di mulut saja. Hebatnya mengaku bahwa
sepakbola kita sudah profesional, berakibat pemerintah percaya bahwa sepakbola
kita sudah profesional sehingga larangan menggunakan APBD dikeluarkan tanpa
dicarikan jalan keluar untuk sumber penggantinya.
Sebenarnya
masih jauh asap dari panggang, atau belum ada satupun Klub Sepakbola (LSI, LPI,
Divisi Utama) yang menamakan diri atau diberi label Konfederasi Sepakbola Asia (AFC), sudah benar-benar
Klub Profesional, yang ada baru profesional diatas kertas.
Kenapa
bisa sampai demikian? karena Pengurus Klub yang bersangkutan mengisi status
Klubnya pada kolom yang tersedia pada formulir yang disediakan AFC, yaitu
menuliskan profesional, untuk mendapatkan Lisensi sebagai Klub Profesional,
tidak lebih dari itu.
Kalaupun
ada yang sudah profesional itu mungkin baru Pemain dan Pelatihnya, karena
mereka menerima pendapatan dan terikat sebuah ikatan kerja (kontrak) jadi bisa berstatus profesional. Walau kalau
dilihat, sebenarnya banyak diantara mereka belum menunjukan sikap, perilaku dan
kualitas profesional yang seharusnya dimiliki sesuai pendapatan yang mereka
terima.
Oleh
karena itu kenyataannya sepakbola kita sekarang tidak lebih maju prestasinya
dibandingkan ketika para Pemain kita masih berstatus amatir ataupun non amatir.
Kalaupun ingin disebut maju ya karena Pemain sekarang lebih besar pendapatan
yang mereka terima, itu saja.
Diluar
itu, orang-orang yang mengurus Klub berlabel profesional itu apakah statusnya
sudah profesional? Jawabnya : belum!!! atau masih amatir alias relawan, lalu
status Klubnya apakah benar profesional?
Jawabnya : juga belum!!!. Mereka ingin disebut Klub profesional karena
ingin ikut kompetisi tingkat Asia, bila Klub mereka juara atau peringkat atas
dari Strata atau Level kompetisi tertinggi di Negara kita, kemudian ditetapkan boleh
ikut kompetisi di tingkat Asia.
Mengapa
Klub kita belum benar-benar profesional? ya karena belum dikelola secara bisnis
murni, pendapatannya baru dari satu sumber dan bukan dari perikatan bisnis (sebelum
ini mengandalkan APBD). Sumber lainnya seperti hasil penjualan tiket
pertandingan kandang, habis oleh beban pengeluaran besar, seperti mahalnya sewa
Stadion dan biaya keamanan. Apalagi bila
ada kerusuhan, yang mengakibatkan pertandingan berikutnya dihukum tanpa
penonton. Sehingga kalau diakumulasikan sekalipun dari jumlah keseluruhan
pendapatan penjualan tiket dari semua pertandingan kandang setiap Klub, jumlahnya
tidaklah besar.
Tidak
banyak yang tahu, sebenarnya label profesional yang ditempelkan kepada Klub
Profesional di Negara kita itu berkaitan dengan ambisi pengurus AFC yang
memiliki moto “Asia is The Future,” atau sepakbola masa depan adalah Asia. Mereka
ingin Klub-Klub di Negara Asia pada tahun 2013, kondisinya sudah mendekati
seperti Klub-Klub Eropa dan prestasinyapun diharapkan bisa bersaing dengan
mereka.
Untuk
memenuhi ambisinya AFC, maka semua Negara anggota FIFA di Asia, Kompetisi
profesional strata tertingginya dibenahi AFC. Dan Klub pesertanya harus
memenuhi lima peryaratan untuk dapat mengikuti kompetisi, yang terdiri
dari Legal, Finance, Infrastructure,
Administration/Personil dan supporting.
Itulah
cerita yang sebenarnya, akibatnya semua kalang kabut hanya untuk sekedar
memenuhi peryaratan yang dipaksakan karena tenggat waktunya terbatas, yang seharusnya
dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan sebenarnya bila ingin mencapai
status Klub profesional.
Yang
lebih memperihatinkan adalah saat ini ketika sumber APBD untuk sepakbola ditiadakan,
Klub-Klub plat merah yang ingin disebut profesional tetap ikut Kompetisi
sepakbola yang diperuntukannya. Tapi dengan ditiadakannya sumber APBD, sekarang
sumber dananya menjadi tidak jelas darimana? Apakah dengan mengakali dari
sumber sama seperti tahun sebelumnya (APBD tapi dimanipulasi?). Atau mendapat
subsidi? Talangan? dari konglomerat mana? Bersamaan dengan munculnya ketidak
jelasan sumber biaya, kompetisinyapun menjadi tidak jelas mau ikut kompetisi
yang mana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar